
Selamat Datang di Era TikToknomics
Fenomena viral di media sosial seperti TikTok dan Instagram bukan hanya tren lokal, melainkan bagian dari perubahan besar dalam pola konsumsi global. Di Indonesia, dampaknya sangat terasa terutama pada sektor makanan dan minuman, serta mulai merambah sektor lain seperti fashion dan gaya hidup.
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat urban Indonesia hidup dalam arus tren viral yang berubah dengan sangat cepat. Industri kuliner menjadi ladang subur sekaligus rapuh. Setiap minggu muncul produk baru yang melejit berkat video TikTok singkat, memicu antrean panjang dan lonjakan pesanan. Namun, popularitas ini sering hilang dalam waktu relatif singkat.
Fenomena ini bukan sekadar perubahan selera, melainkan wajah baru ekonomi konsumsi yang dipengaruhi algoritma media sosial, bukan hanya kebutuhan riil konsumen. Selamat datang di era TikToknomics—ekonomi viral yang berdenyut mengikuti irama media sosial.
Ekonomi Viral dan Perilaku Konsumtif Baru
Algoritma TikTok yang memprioritaskan konten dengan tingkat interaksi tinggi mendorong muncul dan hilangnya tren makanan secara cepat. Sebuah video estetik tentang kuliner “hidden gem” bisa memicu lonjakan luar biasa. Contohnya, warung kecil di tempat terpencil dapat diserbu ratusan pelanggan dalam waktu singkat setelah mendapat perhatian food vlogger populer.
Banyak konsumen terdorong oleh fenomena FOMO (Fear of Missing Out) sehingga rela antre berjam-jam demi makanan viral walaupun belum tentu sesuai selera pribadi.
Hal ini mencerminkan sisi psikologis konsumsi modern: hedonisme visual. Makanan kini bukan hanya soal rasa dan nutrisi, tetapi juga soal estetika—bentuk, warna, sudut pengambilan gambar, dan potensi menarik perhatian di media sosial. Konsumsi menjadi ajang performa sosial.
Kemudahan akses informasi dan kecepatan komunikasi digital membuat konsumen mudah terpengaruh oleh rekomendasi yang menarik secara visual, tanpa riset mendalam. Konsep “makanan untuk dilihat” seringkali lebih dominan dibanding “makanan untuk dinikmati.” Ini berpengaruh besar pada keputusan pembelian dan cara produk disajikan.
Sisi Bisnis: Antara Lonjakan dan Kejatuhan
Bagi pelaku usaha, algoritma media sosial adalah berkah sekaligus jebakan. Banyak UMKM kuliner yang mendadak laris setelah viral, tetapi lonjakan ini biasanya bersifat temporer dengan penurunan tajam setelah hype mereda. Kesulitan memenuhi pesanan, kelelahan, dan masalah operasional sering muncul.
Contoh tren seperti odading Mang Oleh, croffle, sandwich mentai, dan teh jumbo menunjukkan bahwa beberapa pelaku usaha bisa ekspansi, namun banyak juga yang kesulitan bertahan setelah masa viral usai.
Permasalahan utama adalah ketergantungan pada tren dan minim inovasi produk. Ketika rasa dan kualitas menjadi nomor dua setelah viralitas, bisnis kehilangan daya saing jangka panjang.
Selain itu, minimnya perencanaan bisnis jangka panjang dan manajemen keuangan yang tepat membuat banyak pelaku usaha sulit bertahan. Mereka cenderung mengandalkan momentum viral tanpa mengembangkan kualitas, pelayanan, atau strategi pengembangan produk yang berkelanjutan. Akibatnya, saat popularitas turun, mempertahankan pelanggan lama dan menghadapi kompetisi pasar menjadi tantangan besar.
Media Sosial sebagai Mesin Ekonomi Mikro
Media sosial telah merevolusi pemasaran UMKM. Sebelumnya, promosi konvensional dan word of mouth memakan waktu dan biaya cukup besar. Kini, satu video viral dari influencer dapat menciptakan pasar baru dalam hitungan jam.
Namun, ketergantungan pada kreator konten membuat bisnis kecil mudah terombang-ambing naik turun popularitasnya. Bisnis yang minim pondasi dan strategi sulit membangun loyalitas pelanggan dan brand awareness yang konsisten.
Tren ini menyoroti bahwa viralitas memang membuka peluang besar, tetapi tantangan terbesar UMKM adalah mengelola pertumbuhan secara efektif dan berkelanjutan. Mengintegrasikan strategi digital marketing, memperkuat identitas merek, dan menjaga kualitas produk menjadi kunci untuk mengubah momentum viral menjadi keuntungan jangka panjang.

Implikasi Sosial dan Budaya
Budaya konsumsi viral cenderung reaktif dan tidak berkelanjutan. Tren “mencoba demi konten” menggeser loyalitas pelanggan menjadi kompetisi impresi. Produk dikejar bukan hanya karena rasa, tapi potensi konten estetik.
Hal ini menciptakan disonansi antara eksistensi digital dan pengalaman nyata pelanggan. Ekspektasi yang dibangun di media sosial sering tidak sesuai dengan kenyataan saat mencoba produk.
UMKM menghadapi pasar yang sangat dinamis dan ketergantungan pada momentum viral yang sulit diprediksi, menghambat perencanaan jangka panjang.
Dari sisi lingkungan, lonjakan konsumsi produk viral juga meningkatkan limbah kemasan sekali pakai yang sulit terkelola. Lembaga lingkungan seperti WALHI melaporkan peningkatan signifikan limbah plastik kemasan makanan instan yang berkontribusi pada masalah pengelolaan sampah perkotaan dan polusi.
Menjinakkan TikToknomics: Dari Viral ke Vital
TikToknomics membuka peluang besar bagi UMKM dengan mempercepat akses pasar dan menurunkan hambatan promosi. Namun viralitas bukan tujuan akhir, melainkan alat.
Pelaku usaha harus fokus membangun nilai produk, pengalaman pelanggan, dan merek yang kuat agar bisnis dapat bertahan di tengah dinamika pasar digital. Konsumen juga perlu lebih kritis dan selektif, karena tidak semua yang viral layak dikonsumsi.
Fenomena TikToknomics menjadi cermin bagaimana teknologi membentuk ekonomi sehari-hari. Ia bisa menjadi alat pemberdayaan sekaligus pedang bermata dua. Kreativitas digital harus diimbangi dengan kesadaran agar ekonomi digital tidak hanya cepat, tapi juga sehat dan berkelanjutan.
Pelaku UMKM perlu didorong agar mendapatkan edukasi bisnis dan teknologi digital yang memadai, sehingga mereka mampu memanfaatkan viralitas secara strategis dan menjaga keberlangsungan usaha di tengah perubahan pasar yang cepat.
Penutup
Tren viral di era digital memberikan peluang sekaligus tantangan besar. TikToknomics mengubah pola konsumsi dan mempercepat pertumbuhan bisnis, namun juga menuntut kesiapan dan adaptasi pelaku usaha serta konsumen. Dengan pendekatan yang tepat, fenomena ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang sehat dan berkelanjutan.



