Tumbuh dengan banyak terpapar musik membuatku sadar, dalam situasi apapun, musik menjadi hal pertama yang kucari. Tidak jarang di situasi minim sinyal, tidak bisa mendengarkan musik lebih membuat gelisah dibanding tidak bisa berbalas pesan.
Layaknya manusia, pengalaman mendengarkan musik juga bertumbuh
Dulu, mendengarkan musik lewat radio punya daya tariknya tersendiri, selain memang karena belum punya alat dengar yang proper waktu itu. Sensasi seperti diberikan kejutan, lagu apa lagi yang akan diputar setelah lagu ini selesai diperdengarkan? Pilihan lagu-lagu yang diputar pun acak, mulai dari lagu manis ceria sumringah lalu tiba-tiba lagu galau sedih menyesakkan. Membuat mood ikut terombang-ambing dari satu lagu ke satu lagu lain. Tapi tidak jarang, suasana lagu jadi seragam, antara kasmaran atau seekstrim kehilangan harapan. Di sinilah, tangan Penyiar jadi kendalinya─barangkali memang tergantung mood-nya saja.
Berangkat dari situ, masa SD-ku saat itu dibuntuti penasaran dengan profesi Penyiar Radio. Se-simple pertanyaan yang selalu berulang-ulang “emangnya kalau Penyiar muter lagu itu mencet apa aja ya? Alatnya banyak banget tombolnya. Gimana milih lagunya kan lagu banyak banget?” karena bayang-bayang ruang siaran sudah pernah diperlihatkan entah dari TV atau dari ruang siaran sekolah kakak laki-laki ku yang pada saat itu sudah SMP. Hampir saja, Penyiar Radio jadi salah satu pilihan profesi yang menjadi cita-citaku.
Beranjak remaja mulai mengenal MP3 yang lagunya di-download dari warnet atau warung internet. Lalu datanglah era Spotify. Kalau dulu radio penuh kejutan tak terduga, kini semua terasa lebih bisa dikendalikan—memilih lagu atau bahkan membuat playlist sendiri. Kemampuannya dalam mendukung pengalaman mendengarkan musik jadi jauh lebih personal dan terkurasi, ditambah kemudahan akses inilah yang berpengaruh ke semakin banyaknya waktu mendengarkan musik. Akhirnya, Spotify masuk sebagai rentetan aplikasi teratas yang kugunakan atas dasar pilihan hati, berbeda dari aplikasi lain yang seringkali digunakan karena tuntutan profesi. Uhuk.

Semakin banyak waktu mendengarkan musik, pertanda apa?
Pernah terpikir, kenapa seseorang bisa begitu banyak melewati waktu dengan mendengar musik? Apa karena memang suka aktivitasnya atau ada hal yang lebih krusial dari itu?
Barangkali tergantung alasannya. Biasanya mendengarkan musik banyak dilakukan saat sendiri, atau kalau tidak sendiri pun setidaknya tidak sedang melakukan komunikasi aktif. Apakah ini berarti, semakin banyak waktu seseorang mendengar musik, semakin banyak pula waktu yang ia habiskan dalam kesendirian? Kesendirian ini pun banyak juga faktornya, entah karena memang lebih suka menikmati waktu sendiri atau secara keadaan lebih banyak situasi dipaksa/terpaksa sendiri. Dari pengalaman mendengarkan musik ini, hal yang kupikir menyenangkan dari musik juga salah satunya karena “merasa ditemani”.
Musik jadi teman yang rasa-rasanya tidak hanya membersamai, tapi juga mendukung suasana. Kalau lagi seneng, dengerin musik. Kalau lagi bosen, dengerin musik. Kalau lagi sedih, yaa apalagi kalau bukan musik yang dicari. Musik membantu meregulasi emosi entah sekadar didengarkan atau lebih-lebih dinyanyikan. Bagi penulis lagu, barangkali musik juga jadi media ekspresi mengingat seringnya situasi tertentu yang sulit dinyatakan dengan kata-kata langsung. Lirik yang pada akhirnya dikemas jadi lagu seakan berwujud jadi “wakil suara hati”, yang pada akhirnya membuat pendengarnya merasa terhubung dengan lirik atau nada tertentu akibat merasa dimengerti.
Embracing life through music
Di tengah industri musik yang kian menawarkan ragam genre, pendengar pun terpolarisasi sesuai minatnya. Tentu di dalam pemilihan minat juga banyak kompleksitas yang jadi pengaruh. Preferensi musik tidak sekadar soal selera, tapi juga cerminan perjalanan batin. Musik atau lagu tertentu seolah punya “nyawa” sendiri karena pemaknaan atau pembawaannya terlalu menyentuh personal.
Tak hanya dari buku atau konselor, nyatanya musik atau lagu pada waktu tertentu punya keahlian jadi sarana terapi pribadi yang murah dan mudah dijangkau. Memberi kekuatan untuk bertahan melalui lagu-lagu yang menginspirasi, misalnya. Mengingat masa lalu untuk mengurai emosi yang mungkin terpendam. Atau lebih-lebih, menyusun kembali makna hidup lewat musik.
Jadi, meski hanya sebagai pendengar/penikmat musik, ternyata penemuan diri lewat pengalaman mendengarkan musik bukan jadi hal yang mustahil terjadi. Melalui pilihan lagu dan penyanyi favorit, nyatanya memperkaya narasi tentang siapa diri kita. Minimal, kita memahami jenis musik apa yang menghibur sekaligus menemukan sosok inspiratif dari dunia kreatif yang reflektif. Musik bisa lebih jauh dipandang dari sekadar ajang keren genre di sosial media dan sebagai media hiburan, meskipun tidak salah juga menganggapnya demikian.
Jadi kembali ke pertanyaan, mengapa musik yang kerap dicari baik saat susah maupun senang? Bisa jadi karena musik sangat mungkin dipandang lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah teman perjalanan, cerminan atas bagian dari dimensi diri kita, sekaligus ruang berekspresi paling jujur dan tanpa penghakiman.




