
Ada satu adegan yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan saya setiap kali bulan Ramadan tiba: seseorang yang menyelinap makan di toilet kantor. Ia tidak sedang sakit. Ia tidak sedang haid. Ia hanya tidak puasa—dan itu, bagi banyak orang, lebih baik dilakukan diam-diam daripada menghadapi tatapan tajam rekan-rekan kerja. Anehnya, di kantor yang sama, orang-orang bisa tetap bersenda gurau dengan atasan yang diketahui menyunat laporan keuangan. Tak ada yang membawa-bawa kata “dosa”.
Fenomena ini bukan sekadar anekdotal. Ia mengungkap satu hal: ada hierarki sosial atas dosa dalam masyarakat Muslim Indonesia. Dan dalam hierarki itu, dosa yang tampak lebih menakutkan daripada dosa yang membusuk diam-diam. Kita lebih takut terlihat berdosa daripada benar-benar melakukan dosa. Kita lebih takut makan siang di depan umum saat puasa daripada menyakiti orang lain secara sistemik. Tapi mengapa begitu?
Visual Lebih Viral
Kita hidup dalam dunia yang sangat visual. Dari konten TikTok hingga khutbah Jumat, kita diajak untuk melihat, menilai, dan mengomentari. Apa yang tampak, itulah yang dianggap nyata. Di tengah budaya pengawasan sosial yang kuat, dosa yang terlihat—seperti tidak puasa, berpakaian “tidak syar’i”, atau tertawa saat adzan—jadi skandal moral. Padahal, banyak dari “dosa-dosa” ini bersifat simbolik dan personal.
Martin van Bruinessen dalam kajiannya soal ekspresi keislaman di Indonesia menyebutkan bahwa banyak praktik keagamaan bersifat performatif, bukan transformatif. Artinya, agama ditampilkan, bukan dijalani. Yang penting terlihat taat, bukan menjadi pribadi yang lebih etis. Di sinilah dosa visual tumbuh subur.
Fikih Lebih Populer daripada Etika
Sejak kecil, kita dicekoki soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, lengkap dengan dalil dan hukumnya. Tapi jarang diajarkan mengapa kita harus melakukannya, dan untuk siapa. Kurikulum keagamaan kita lebih mirip pelajaran hukum daripada etika: banyak pasal, sedikit perenungan. Wacana fikih mengisi ruang-ruang pendidikan formal dan non-formal, dari sekolah sampai pesantren, dari TV sampai media sosial. Tapi nilai-nilai etis—kejujuran, keberpihakan pada yang lemah, tanggung jawab sosial—seringkali hanya jadi pengantar, bukan substansi.
Kyai Husein Muhammad dalam banyak tulisannya menegaskan bahwa agama bukan sekadar kumpulan hukum ibadah. Ia adalah jalan menuju keadilan. Tapi di ruang publik kita, bicara soal keadilan bisa kalah pamor dengan polemik jilbab dan celana cingkrang.
Moralitas sebagai Kontrol Sosial
Dalam masyarakat shame-based seperti Indonesia, moralitas bukan sekadar hubungan antara manusia dan Tuhan, melainkan mekanisme kontrol sosial. Ia mengatur siapa yang bisa diterima, siapa yang harus disingkirkan. Maka tidak heran jika “dosa yang terlihat” jadi lebih ditakuti. Ia bukan cuma soal Tuhan, tapi juga soal reputasi, posisi sosial, bahkan keamanan fisik.
Greg Fealy mencatat bahwa politik Islam di Indonesia kerap menjual simbol untuk mendapatkan kuasa. Dosa visual dimanfaatkan untuk mengukuhkan identitas kelompok, membatasi yang lain, dan menjaga kekuasaan moral. Maka jangan heran jika lebih banyak orang dipersekusi karena “menistakan agama” secara simbolik, daripada karena korupsi atau eksploitasi.
Agama sebagai Identitas, Bukan Spiritualitas
Saya tidak sedang ingin meremehkan orang-orang yang serius menjaga syariat. Tapi ketika syariat berubah menjadi alat pembeda, bukan jalan untuk memanusiakan sesama, kita harus mulai bertanya. Haedar Nashir pernah menulis bahwa keberagamaan yang sehat bukan yang sibuk pada seremonial, tapi yang aktif dalam pembebasan sosial. Sayangnya, banyak yang masih memahami Islam sebagai kumpulan tanda lahiriah. Siapa yang salat di depan, siapa yang tidak puasa, siapa yang tidak ikut takbiran. Padahal, Islam adalah agama tauhid: menyatukan antara ritual dan sosial, antara individu dan kolektif, antara lahir dan batin.
Haidar Bagir dalam bukunya Islam Tuhan, Islam Manusia membedakan dua kutub Islam: satu yang legal-formalistik, satu yang spiritual-humanistik. Kita, menurutnya, terlalu lama terjebak di kutub pertama. Dan mungkin di situlah akar dari obsesimu dan saya terhadap dosa yang terlihat.
Gus Mus dan Agama yang Menghidupkan
Di tengah hiruk-pikuk moralitas visual ini, saya selalu kembali pada suara lirih tapi tajam dari KH. Mustofa Bisri, Gus Mus. Ia menulis, “Agama itu untuk memanusiakan manusia. Kalau kau beragama tapi malah merendahkan orang lain, itu kau sedang menyembah egomu, bukan Tuhanmu.” Sebuah teguran lembut yang terasa seperti tamparan. Kita perlu agama yang menghidupkan, bukan yang menyilaukan.
Penutup: Waktu untuk Mencuci Cermin
Mungkin sudah saatnya kita berhenti sibuk menyeka wajah agar terlihat suci, dan mulai membersihkan cermin agar bisa benar-benar melihat siapa diri kita. Karena dosa yang sesungguhnya bukan hanya yang bisa dilihat orang lain, tapi yang kita biarkan tumbuh diam-diam, dengan tenang, dalam sistem yang kita lindungi.
Tak masalah jika kita masih merasa risih makan siang saat Ramadan. Tapi mari kita juga mulai merasa risih saat melihat orang tertindas oleh sistem yang kita biarkan. Saat melihat kezaliman dibungkus doa, dan penindasan dibenarkan atas nama Tuhan. Karena mungkin, dosa yang paling besar bukanlah yang terlihat… tapi yang tak lagi kita rasakan sebagai dosa.



